Coretcoret

Jumat, 30 Juli 2010

:-D

Yes yes yes... Tralala trilili senangnya rasa hati. Aku cinta hidupku. Yes yes yes... Terimakasih ya Allah atas semua mua muanya... I do love you full

Senin, 12 Juli 2010

Dendang Purnama

UI Fikria



“Ibu, akankah di sisa usiaku ini dapat kuraih hidup dengan dia yang dapat pendarkan Sastra Jendra?” tanya penuh harap itu kerap terlontar dari mulut Maya, sejak tanpa sengaja dibacanya kisah Sukesi, gadis cantik yang terjerembab dalam kubangan lumpur hitam sebab kepenasarannya yang mulia pada ilmu para Btara.
“Tidak Nak, kau tak boleh memintanya, takkan ada pemuda yang sanggup melakukannya.”
“Tapi Bu, aku akan memintanya pada dia yang menginginkanku, bukan ayah lelaki yang tergila-gila padaku,” sudah tiga purnama Maya mengutarakan inginnya. ”Aku janji takkan menjadi Sukesi Bu, sebab dia yang kuingin bukan Wisrawa, dan takkan pula kulahirkan Dasamuka sebab rahimku telah kering.”
Sang ibu tertunduk lesu memandangi si anak yang tiduran dipangkuannya. Dibelainya rambut Maya. Anakku, akankah takdir ibu terulang padamu, bagaimana aku mampu mencegahnya.
Bulan bulat masih membisu memandangi dua manusia yang tiap purnama disepuhnya hingga menjelang fajar.
“Ibu, dari dua ratus juta manusia di negeri ini, kemanapun kutunjuk satu arah, jika kau ijinkan aku melesatkan panah hingga perbatasan, hanya hingga perbatasan Ibu, maka telah tertancap jutaan Dasamuka dalam panahku.”
“Dua bulan lagi kau baru berulang tahun nagamu yang pertama, belum saatnya kau bicarakan pendamping hidup nak.”
“Lihat ibu, Dasamuka baik hati itu datang lagi ke rumah,” tunjuk Maya pada lelaki berkemeja yang kerap membawakannya makanan. Yang membuatnya kekenyangan hingga terlelap, lalu berfikir suara-suara aneh dari kamar ibunya hanyalah mimpi.
“Mas Restu?”
“Aku tak bermaksud mengganggumu dan Maya menikmati purnama. Hanya, aku terlalu lelah. Istriku meraung hendak menyusul teman-temannya ke Belanda, dan anak-anakku berteriak tentang mobil mereka. Sebelum aku menyesal merasa telah menikah dengan monyet dan melahirkan anak-anak monyet itu, di malam purnama yang terpikir hanya tempat ini tengah tenang.”
Tantri tersenyum simpul, mengangguk mempersilakan lelaki dengan dua pengawal itu masuk ke rumahnya. Ia kembali membelai Maya.
“Jika semua Dasamuka seperti dia, akan kulahirkan seribu Dasamuka Ibu.” Maya tersenyum, ia selalu senang melihat lelaki-lelaki yang selalu disebut ibunya Dasamuka itu. “Untuk apa Bu aku mendamba menjadi istri Btara jika mereka kerjanya hanya menyakiti wanita sepertimu Bu, mengutukmu. Ah, harusnya merekalah yang berkaca.”
“Aku ingin indah sepertimu ibu, telah kau ambil keindahan purnama hingga para Btara berpaling dari Btarinya menujumu Bu,” Maya bangun dari pangkuan Tantri lalu menyiduk air di kendi besar di depannya. Bayangan bulan di dalam kendi bergelombang, menari karena koyakan tangan kecil Maya.
“Bagaimana jika kuambil cahaya surya, akankah seluruh Btara berpaling padaku Bu? Aku ingin mereka semua menjadi milikku dan kuperbudak mereka sampai dipendarkan Sastra Jendra untukku.”

telah kusesap ubun-ubun Sarpa Kenaka
telah kuhisap tiap ujung jemarinya
telah kucucup matanya, telinganya, lidahnya, kukunya
telah kutelan sari jiwanya

Tubuhnya bergidik mendengar dendang ganjil dari suara sumbang Maya yang dilantunkannya berulang-ulang. Tak tertahankan lagi air matanya menitik. Tuhan, adakah ini memang jalan yang kaupilihkan?
Anaknya telah tumbuh dengan nafas beraroma lendir kehidupan. Tak sekalipun tubuhnya terisi makanan dari selain hasil menjual diri. Keputusan melacur itu terpaksa diambil Tantri ketika kanker menggerogoti tubuh Bima, suaminya. Lalu seakan bergegas, ajal datang di sore hari setelah janin yang telah sejak USG disiapkan nama Mira Fatmawati Bimantoro, terlahir paginya. Seminggu setelah kelahiran itu semuanya berubah total, hutang suaminya jauh libih besar dibanding harta yang ditinggalkan. Alhasik, tak ada yang Tantri dapat lakukan selain mengambil jalan yang membuat hatinya terus menangis demi dapat memberi makan Mira. Namun kepedihan seakan terus memeluknya, Mira tumbuh sebagai anak abnormal. Setelah Mira menginjak usia tiga tahuun, Tantri makin yakin anaknya bisu dan tuli.
Hingga suatu sore, Tantri telah menyuapi Mira dengan racun tikus sambil terisak dalam. Telah dilakukannya atas nama kasih sayang, sebab baginya itu lebih baik ketimbang membiarkan anaknya hidup menderita.
Lalu Maya, Anak yang entah siapa ayahnya, yang terus bercerita tentang langit, bintang, bulan, matahari, tuhan, malaikat, iblis, ternyata tumbuh menjadi bocah cantik berjiwa ganjil. Tiap purnama, semalaman Maya akan di bale teras rumah, mendongkak memandangi purnama hingga fajar menyingsing diiringi kejora di ufuk timur. Ini telah dilakukannya sejak tiga tahun lalu ketika usianya menginjak sembilan tahun.
Tiap kali dicegah, anak itu menjadi liar. Dia memang tidak menghantam ibunya atau membanting perabotan, tapi dia gigit nadi lengannya sendiri. Malam naas itu tak ada jeritan atau rintihan kesakitan, hanya darah yang mengalir merembes dari celah pintu kamarnya. Tantri yang mestinya menuntaskan pelayanan pada tamunya setelah istirahat sejenak mengambil minuman di dapur, terkesiap saat melewati kamar Maya, dia melihat darah merembes di bawah pintu dan menjerit menyesal sejadinya begitu mendapati putrinya terkapar di lantai. Wajahnya telah membiru, namun tak ada air mata mengalir di pipi Maya. Malam itu juga tangis yang dikira tak lagi dimilikinya, pecah di depan UGD. Sendiri. Karena tamunya hanya mengantar sampai depan rumah sakit, terang saja tak berani masuk, di rumah sakit itu ada dokter senior, abang istrinya. Sejak malam itu, akan dipersilakan tamunya mengunjungi selain malam purnama. Sebab purnama adalah malam mereka. Malam sepasang ibu dan anak yang tanpa disadari begitu mencintai Sarpa Kenaka. Yang bertahan hidup dari para Dasamuka.
Haruskah mereka berterima kasih pada mahluk api yang konon tak henti membisiki manusia dengan keinginan-keinginan yang melebihi batas? Atau justru mengasihani sebab sesungguhnya mereka hanya dijadikan kambing hitam manusia, agar keturunan adam-hawa dapat menyusun pembenaran atas pilihan-pilihannya memakan khuldi-khuldi bumi. Iblis bermacam rupa yang tengah bercengkerama di rumahnya yang damai, mengamini hikmat senyum angin yang diam tak berhembus. Diam sebab terpesona pada pancar hangat dari keduanya.
Dokter telah memvonis hanya keajaiban jika Maya dapat tetap bertahan lebih dari sebulan lagi. Dan Tantri tak hendak menyakiti Maya dengan membohongi, anak itu telah lama dewasa, jauh sebelum menstruasinya. Tantri tak pernah tahu jika kedewasaan itu karena dalam tidurnya, Maya tengah melanjutkan kehidupannya sebelum terpejam. Dalam tubuh anak dengan dada yang masih rata bersemayam wanita yang telah dewasa dan matang.
Maya tak hendak berontak pada kehidupan yang membuat dirinya dan Tantri dibenci oleh para istri, Maya tak hendak ingin menikah, dia hanya ingin mendapat pendamping yang dapat memendarkannya ilmu yang dapat menggoncang nirwana.
Dengkur Dasamuka berdasi terdengar keras dari tempat mereka tersepuh purnama. Namun bunyi itu seakan tak terdengar sebab mereka tengah dalam dunia mereka yang sunyi. Lelaki itu mendengkur dengan wajah sumringah. Ahirnya dia dapat tidur begitu pulas setelah seharian berkutat dengan pasal-pasal yang membosankan, terlebih bebas dari penghuni rumah besarnnya yang megah, yang disebutnya sebagai rumah monyet.
Sinar terang jingga purnama berangsur memutih, menandakan saatnya surya mengguratkan fajar, membangunkan kokok-kokok ayam.
***
Tak seperti biasanya, dua hari menjelang purnama Maya telah keluar, duduk menengadah di Bale. Memandangi bulan yang belum begitu bulat. Akankah sepenuhnya Buto Ijo mengeluarkan bulan dari mulut buasnya.
“Purnama kali ini saja,” gumannya lirih lalu meniup lembut air kendi di depannya. Bulan tak juga membulat. Tapi ada sesuatu di bulan, yang sepertinya mendekat ke arahnya. Serupa titik, serupa pesawat dengan sayap melambai terbawa angin.
Semakin dekat sesuatu itu hingga kini nampak sosok perempuan dengan selendang kelabu menghampiri Maya yang ketakutan padanya.
Perempuan berselendang kelabu itu tersenyum, ia sedikit membungkuk dan mengulurkan tangan dinginnya pada Maya.
Dengan ragu-ragu Maya berdiri, menyambut uluran tangan itu.
“Akan kau temukan tujuh purnama setiap malamnya.” Kata perempuan itu dengan segaris senyum begitu tangan Maya dalam genggamannya.
Seketika dingin tubuh perempuan itu menjalar ke lengan Maya, “kau akan berenang di nirwana, ditemani Btara-Btara yang tunduk padamu.”

Maya memejam, dengan lirih mulutnya menggumam.

telah kusesap ubun-ubun Sarpa Kenaka
telah kuhisap tiap ujung jemarinya
telah kucucup matanya, telinganya, lidahnya, kukunya
telah kutelan sari jiwanya

Tantri terhenyak oleh dendang Maya yang terdengar lirih dari ranjangnya yang berantakan. Ia terkejut tahu suara Maya berasal dari teras, itu berarti Maya di luar, “ini belum purnama,” pekiknya
“Tantri!” wanita awal empat puluhan itu menghambur keluar. Maya yang tengah berdiri dengan tangan terjulur menengok ke arahnya, tersenyum muka pucat dan tatapan dingin, sangat dingin. Tantri bergegas mendekat, baju tidur yang berantakan itu melambai oleh angin malam yang tengah berdendang. Dengan segera ditangkap tubuh Maya yang terkulai hendak jatuh dari bibir bale. Dingin telah sepenuhnya merayap ke seluruh tubuh. Air mata Tantri mengambang. Terimakasih tuhan, tak kusangka kau sudi menjemput putri Sukesi dengan cara yang begitu indah.

Semarang, 25 Januari 2010





Satu diantara kun fa yakunNya yang indah. Kombinasi tercantik.
Sepanjang jalan menanjak yang selalu ingin berlama-lama menepi, berhenti untuk mencontek dan memandangi keindahan ini.

dalam tarian Gersang



Suatu saat boleh jadi kita akan berada di tangga kesendirian yang gersang, pada saat itu kita harus yakin bahwa sesendirinya kita, masih ada kasih yang tulus jika kita mau membuka hati